Ihdinash-Shiratal Mustaqim

Tujuh belas kali minimal, setiap hari kita memohon kepada Allah untuk memandu kita menuju jalan yang lurus. Ya Allah, Ihdinash-shirathal-mustaqim. Allah pun sudah menjawab doa doa dan permohonan kita dengan bahasa yang sangat mudah untuk kita mengerti, mengamini apa yang sudah kita ketahui. Shirathal-ladzina an’amta ‘alaihim, ghairil-maghdlubi ‘alaihim waladl-dlallin. Kalaulah sampai hari ini, jalan tersebut belum juga nyata adanya di depan mata kita, sangat sulit kita temukan, dan sangat sulit untuk dapat kita lalui. What’s wrong? Kok bisa ya?!

Pertama, kita selalu meminta pada Allah untuk ditunjukkan jalan yang lurus. Tetapi pada saat yang sama kita secara terus menerus meyakinkan diri bahwa jalan itu begitu pipih “bagaikan rambut dibelah tujuh”, sehingga sangat sulit bagi kita untuk dapat melihatnya. Jalan itu bagaikan jalan tikus yang sempit dan penuh rerimbunan, sehingga sangat sulit bagi kita untuk dapat menemukannya. Jalan tersebut begitu rapuh “bagaikan rambut dibelah tujuh”, begitu terjal, berkelok kelok, penuh dengan tanjakan dan turunan yang tajam, yang sangat sulit untuk dapat kita lalui. Tanpa kita sadari, memory tersebut menjadi “sumber keraguan” yang membelenggu keyakinan kita atas “kebenaran” yang telah kita temukan, sehingga kita tidak pernah sampai pada kebenaran itu sendiri. Memory tersebut, tanpa kita sadari menjadi “bandul pemberat” atas usaha usaha yang kita lakukan, sehingga kita menjadi terengah-engah atau bahkan berputus asa dalam menemukan dan melalui jalan lurus “shirath al-mustaqim”. Memory tersebut begitu dalam hadlir membingkai pikiran kita, menjadi hantu penjaga setiap pintu yang terbuka, sehingga kita lebih memilih lari dan menjauh, alih alih mendekat dan mengusirnya.

Memory-memory seperti itulah, yang menghalangi kita menemukan “shirathal-mustaqim“. Memeory memory seperti itulah yang menghalangi kita merambah jalan “shirathal-mustaqim“. Ibarat seorang ayah yang sedang mengajarkan anaknya bersepeda. Sehebat apapun metode pelatihan dan motivasi yang diberikan oleh sang ayah. Sang anak tetap saja tidak akan bisa bersepeda, ketika keyakinan sang anak bahwa naik sepeda onthel itu sulit, mengalahkan tekadnya untuk bisa bersepeda. Kalau memang “shirath al-mustaqim” itu begitu sulit ditemukan dan sulit juga untuk dilalui. Nyatanya, telah sangat banyak orang yang telah dapat melaluinya. Kalaulah “shirath al-mustaqim” itu begitu sulit ditemukan dan sulit juga untuk dilalui. Mengapa Allah terus menerus mendorong kita untuk menemukan dan melaluinya? Mustahil dong Allah menyengsarakan kita, membully habis kita seperti itu?!

Kedua, kalaulah sampai hari ini, kita belum mampu menemukan dan melalui jalan tersebut, sementara telah ada begitu banyak orang yang telah menemukan dan melalui “shirathal-mustaqim“. Boleh jadi ada sesuatu yang lepas dari perhatian kita selama ini, sehingga kita belum bisa menemukan, membuka dan melaluinya. Untuk dapat menemukan dan melalui jalan tersebut. Allah menghamparkan dua cara sederhana yang dapat segera menghantarkan kita menemukan dan melalui jalan tersebut. Yakni (i) shirath alladzina an’amta ‘alaihim, dan (ii) ghairil-maghdzubi ‘alaihim wa ladz-dzaallin.  Cara dan jalan tersebut bukanlah jalan tikus yang sempit dan tertutup rerimbunan sehingga sulit ditemukan. Tetapi, karena fokus, pandangan dan pikiran kita yang terbelah, menghalangi kita untuk melihat dengan jelas, jalan lurus yang terhampar.  Jalan tersebut begitu mudah dilalui. Tetapi, karena kebimbangan kita, tekad kita yang setengah setengah, serta kepala kita yang terus berputar putar, tengok kanan tengok kiri, menjadikan jalan yang lapang tersebut menjadi tidak nyaman untuk dilalui?!

Kalaulah sampai hari ini, kita masih sulit menemukan dan melaluinya, boleh jadi karena kita masih kurang jeli membaca petunjuk-petunjukNya. Kita masih dan membatasi diri untuk mencari petunjuk itu hanya pada lembaran lembaran mushaf yang berisi tentang pokok ajaran dan panduan globalnya, belum secara lebih dalam mencari dari pengalaman orang orang yang telah menerapkan pokok ajaran dan panduan tersebut dalam kehidupan nyata. Bunyi statement “shirath-alladzina an’amta alaihim”, yang menunjuk pada orang, mengindikasikan bahwa Allah seakan akan berbicara kepada kita, kalau kalian ingin melalui jalan tersebut dengan mudah, pelajari dan pahamilah apa yang telah menjadi pegangan orang orang tersebut, serta pelajari pula cara yang telah mereka lakukan untuk menerapkan ajaran tersebut dalam kehidupan keseharian mereka, yang berbeda beda antara yang satu dengan yang lain, sesuai dengan kondisi yang mereka hadapi dalam kehidupan keseharian mereka.

Mengapa? Cara menempuh jalan yang sama, dengan kondisi seseorang yang berbeda serta situasi masa yang berbeda, meniscayakan cara menempuh yang berbeda pula. Pengalaman dan cara para perambah jalan terdahulu yang berbeda beda, akan memudahkan kita memilih cara yang tepat untuk melaluinya. Pokok pokok ajaran yang mereka jadikan pedoman dan keyakinan mereka bahwa pokok ajaran tersebut adalah solusi terbaik bagi mereka menuju kebahagiaan dan kesempurnaan, serta, yang terpenting, pengalaman mereka melaksanakan ajaran ajaran tersebut dalam kehidupan keseharian mereka yang berbeda beda, merupakan sesuatu yg harus kita pelajari. Demikian pula kesalahan kesalahan yang telah mereka lakukan yang kemudian malah menjauhkan mereka dari “shirathal-mystaqim” juga merupakan sesuatu yang harus pula kita pelajari.

Dalam bahasa yang lebih lugas. Dengan membaca ayat al-Qur’an dan hadis hadis Nabi, kita dapat menemukan “shirathal-mustaqim“. Tetapi, untuk bisa melaju di atas “shirathal-mustaqim” dengan mudah, kita perlu juga membaca pengalaman dan jejak langkah orang-orang salaf al-shalih yang telah terlebih dahulu dapat melaluinya.

Sudahkah kita melihat semua itu?