Reinkarnasi Tongkat Musa

Biasanya sehabis perjalanan malam, saya langsung memposisikan diri untuk santai, leyeh-leyeh dan tidak lama kemudian langsung tertidur. Tapi malam ini ada yang janggal di pikiran, yang membuat saya susah tidur dengan sempurna. Entah kenapa, di antara sadar dan tidak sadar (baina yahya, wa amut), pikiran saya tiba-tiba mengandai-andai, kalau misalnya atas kehendak dan iradah Allah Swt, tiba-tiba Nabiyullah Musa dihidupkan lagi ditengah-tengah masyarakat Indonesia saat ini. Kira-kira apa yang akan beliau lakukan? dan untuk misi apa beliau dihadirkan?

Tetu saja pikiran saya ini sangat konyol, bahkan bisa dibilang gila. Mengandaikan kehadiran Musa, yang secara jasadi hidup beribu-ribu tahun silam. Belum lagi terkait dengan ikatan kontrak yang diberikan Allah SWT kepada para nabi dan rasulnya, bahwa tidak akan ada nabi serta rasul yang diutus setelah Nabi Agung Muhammad SAW.

Lama saya merenung (masih dalam posisi tidur ayam) memikirkan alasan alam bawa sadar yang memunculkan khayalan konyol seperti itu. Namun, ketika saya benturkan antara kehadiran Musa dengan kondisi berbangsa kita saat ini, saya menemukan beberapa alasan yang rasional, terkait dengan kondisi bangsa Indonesia saat ini dan kebutuhan akan kehadiran Musa.

Terlebih dahulu, jangan diandaikan Musa yang saya maksud adalah Musa (fisik) dengan pakaian kumuh, lusuh khas daerah Afrika Utara / Mesir dengan tongkatnya bak musafir yang sedang dalam perjalanan. Tapi Musa yang kekinian, Musa yang sesuai dengan konteks realitas saat ini, namun juga tetap sebagai Musa yang ajaran serta kisahnya memiliki dimensi universal dan tidak termakan waktu. “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka (para nabi dan umatnya) itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang berakal. Al-Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab) yang sebelumnyadan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” (Qs. Yusuf:111).

Dalam sejarah umat manusia, mashur dikisahkan betapa berkuasanya Firaun atas rakyatnya. Kepiawaiannya mengelolah perpolitikan, perekonomian, militer, serta tata ruang sudah tidak diragukan. Banyangkan saja, dinasti Firaun bisa berkuasa (-/+) selama tiga milenium di belahan Afrika Utara, selama itu pula banyak capaian-capaian dibidang arsitektur yang luar biasa dan hingga saat ini bisa kita nikmati.

Ada satu hal yang membuat Firaun harus berurusan dengan Tuhan, yaitu pengakuan dirinya sebagai tuhan. Karena capaian kekuasaan yang diperoleh, Firaun menjadi lupa daratan kemanusiaannya. Merasa paling tinggi diantara manusia bumi lainnya, sehingga muncul rasa bahwa dia adalah mahluk langit.

Karena itulah, Tuhan menurunkan Musa (Kalamullah) sekaligus Harun, untuk meluruskan sekaligus membawa kembali Firaun turun ke bumi (mengingatkan sisi kemanusiaan Firaun yang merasa menjadi tuhan). Namun diluar dugaan, Firaun menolak kebenaran yang disampaikan Musa dengan dalih (argumentasi) bahwa kekuasaanyalah yang absolut dan memegang kontrol penuh atas pemerintahan, sekaligus kehidupan rakyatnya. Maka di depan Musa, Firaun memenggal kepala orang yang dia kehendaki, serta membiarkan yang lain hidup sesuai dengan kehendaknya, sebagai bukti ketuhanan Firaun.

Tidak hanya itu, Firaun juga dikelilingi tukang sihir terbaik yang ada di mesir waktu itu. Dimana dengan kemampuan supra-manusia, mereka mampu merubah seutas tali menjadi ular. Benteng penyihir inilah yang merupakan media (illusi pengetahuan) yang dipakai Firaun mengontrol masyarakat Mesir.

Firaun modern dan penyihir modernitas

Firaun modern adalah mahluk supra-human. Mahluk yang gila kuasa dan kekuasaan. Kekuasaan, bagi dia adalah penguasaan (kepemilikan) secara absolut/mutlak terhadap manusia lain, hutan, mineral, air, udara, bahkan sepetak tanah milik tetangga pun ingin dikuasai.
Mentalitas ini terbentuk, dari semangat / sihir modernitas, yang menganggap pengetahuan adalah bebas nilai (nir-kepentingan) dan mengarahkan pada kemajuan peradaban manusia. Padahal, realitas dilapangan tidak sepenuhnya benar.
Kemajuan serta perkembangan memang dapat dicapai. Namun untuk siapa? Kasus reklamasi di teluk utara Jakarta serta pembangunan hunian mewah Maikarta misalnya. Jika dikaji secara komperhensif, siapa sebenarnya yang diuntungkan? Apakah masyarakat sekitar, atau justru sekelompok orang, pemodal, korporasi, atau malah orang lain (aseng)…?
Firaun modern spektrumnya lebih luas, bisa individu yang punya kekuasaan, jabatan (presiden, menteri, komisaris, direktur, jendral, dll), profesi (hakim, polisi, politikus, developer, dll), dan siapa pun mereka yang berhasrat untuk menguasai tanpa ampun dengan segala cara dan paksa.
Sedangkan sihir moderenitas adalah kongklusi kebenaran yang hanya didasarkan pada indra (empirisme) dan ketepatan alur berfikir (logis). Sebagaimana peran penyihir Firaun, yang mengunakan illusi indrawi (merubah tali menjadi ular) dan karena kekuasaan Firaun yang begitu absolut/mutlak atas rakyatnya, maka muncullah logika berfikir (illusi intelektual) yang mengarah pada mentuhankan diri atau merasa menjadi tuhan.

Karena dua hal diataslah Tuhan mengutus Musa. Pertama, untuk mewartakan (da’wah) akan keberadaan Allah SWT, Tuhan semesta alam dan tidak ada tuhan lain. Kedua, Musa, melalui tongkatnya (simbol tauhid) yang menelan ular-ular besar yang muncul dari tali-temali (illusi pengetahuan) para penyihir Firaun.
Saat ini, di negara Indonesia tercinta ini, kita butuh semangat Musa. Semangat untuk mewartakan kebenaran yang mengarah pada kemanusiaan yang adil dan beradab, bukan kebenaran yang berpihak pada kepentingan pribadi atau golongan, juga bukan kebenaran yang dipaksakan hanya untuk kesenangan peseorangan, kapital, apalagi aseng.
Kita butuh kepastian sistem dan hukum yang adil dan beradab, bukan sistem dan hukum yang bengkok (illusif), yang dibuat mengunakan slogan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia, namun dalam praktiknya hanya untuk kepentingan segelintir orang, golongan, dan aseng.

– Fathul Adhim –