EKO-SUFISME # 5: LANGIT DAN MAKANAN MANUSIA

Dalam al-Quran, Allah menyindir manusia dengan berfirman pada QS. Abasa (80): 24-42, yang dimulai dari kalimat ini, dan seterusnya:

فلينظرالإنسان إلى طعامه …

“Seharusnya manusia melihat apa yang dia makan”.

Makanan yang kita dikonsumsi dapat mengantarkan pada ingat pada Allah. Karena makan yang kita konsumsi ini memiliki rentetan yang sangat panjang.

Semua makanan yang ada bersumber dari tanah, yakni tanah yang telah disiram oleh Allah dengan air hujan, anna shababna al-ma’a shabba. Allah memberikan siraman air untuk menghidupkan bumi dengan kapasitas yang tepat atau proporsional. Air yang terlalu banyak menyebabkan banjir, sementara air yang terlalu sedikit menyebabkan tanah kekeringan.

Dari fenomena ini kita dapat mengambil pelajaran bahwa, hubungan antara langit dan bumi. Dengan proses fisika-biologinya, langit menghasilkan awan, mendung, dan hujan, kemudian hujan membasahi bumi. Proses ini sangat penting bagi kehidupan, termasuk kehidupan manusia. Dengan demikian, manusia sangat membutuhkan langit dan segala benda yang ada di dalamnya untuk agar dapat memproduksi pangan dan menjaga kelangsungan hidupnya.

Tanah yang telah disiram air hujan dari langit menjadikan tanah merekah (subur) (tsumma syaqaqna al-ardha syaqqa). Pancaran air hujan dari langit menjadikan bumi menjadi hidup subur, hijau sumpringah dengan ditandai dengan lahirnya “anak-anak” bumi seperti tumbuhan dari yang paling sederhana seperti lumut sampai tumbuhan yang besar dan kuat (fa anbatna fiha habba, wa ‘inaban wa qadhba, wa zaituna wa nakhla, wa hadaiqa ghulba, wa fakihata wa abba). Juga binatang dan manusia.

Dalam teori wujudnya makhluk, tumbuhan merupakan “anak semesta” yang pertama lahir dari bumi, kemudian disusul binatang dan manusia. Jauh-jauh, Allah telah menyediakan fasilitas kehidupan bagi manusia, yakni makanannya. Semua ini diberikan oleh Allah sebagai mata’ (fasilitas) yang mendatangkan kesenangan bagi manusia dan binatang ternaknya.

Tumbuhan yang kita saksikan di sekitar kita sebagian besar adalah semua makanan bagi pemiliknya. Ada tumbuhan yang buahnya atau pohonnya langsung dapat dikonsumsi (dimakan) ada yang tidak. Tumbuhan yang buahnya bisa langsung dimakan seperti talas, kelapa, pisang, petai, dan seterusnya. Tumbuhan yang tidak secara langsung dapat dikonsumsi, seperti mahoni, jati, sengon, dan seterusnya. Tetapi, mereka selalu menyuplai makanan dalam bentuk penyediaan oksigen yang dibutuhkan hewan dan manusia. Inilah sebetulnya anugerah Allah yang seringkali dilupakan manusia.

Inilah anugerah yang disebut Allah sebagai mata(fasilitas). Fasilitas (mata) yang menyenangkan ini seharusnya menjadikan manusia menjadi lebih baik dan dapat lebih dekat dengan Allah. Tetapi kenyataannya, kita seringkali terbuai dengan nikmat yang telah diberikan Allah. Nikmat yang harusnya mendatangkan syukur justru sebaliknya. Kita seringkali berbuat kufur. Terlalu sibuk dengan urusan nikmat pemberian Allah itu. Kita jarang sekali sibuk dengan Allah atau sibuk karena Allah. Tetapi sibuk mencari dan mengurus nikmat Allah sampai lupa pemberi nikmat. Inilah yang justru akan merepotkan manusia di masa depan kita.

Ayat selanjutnya dirangkai dengan penjelasan tentang shahhah (kiamat), di mana manusia akan saling menghindar dan lari dari orang-orang yang dulu menjadi orang dekatnya. Anak lari dari orang tuanya dan sebaliknya. Para saudara menghindar dari saudara lainnya. Hal ini karena mereka sibuk menanggung urusannya dia sendiri.

Pada hari ini manusia akan disibukkan dengan pertanggungjawaban mata’ (fasilitas) yang diberikan Allah. Makanan yang disediakan Allah yang berawal dari curahan air langit yang berupa hujan tersebut apakan berdampak pada syukur dan giatnya dalam pengabdian manusia pada Allah atau tidak. Dalam konsteks pertanggungjawaban ini, sebagian kelompok ada manusia yang wajahnya berseri-seri (musfirah), dan ada yang kusut tertutup debu, karena mereka tidak sempat mengurus diri mereka sendiri…Naudzu billah min dzalik.

Allah A’lam bi al-Shawab

SERI EKO-SUFISME # 5: LANGIT DAN MAKANAN MANUSIA