EKO-SUFISME # 8: THE WINNER

Saat menonton pertandingan bola di layar TV, kita sering diperlihatkan cara main seorang penonton. Ada penonton yang cara bermainnya cantik, taktis, dan indah. Ada juga pemain yang temperamental, kasar, sering membuat pelanggaran, dan bahkan ada yang tampak egois.

Itulah permainan yang di dalam Bahasa Arabnya disebut la’b atau la’ib. Kehidupan manusia di dunia disebut oleh Allah dalam al-Quran dengan la’ib. Dalam permainan, ada unsur penting agar permainan berjalan dengan semestinya, di antara unsur yang harus ada dalam permainan tersebut adalah 1) pemain, 2) aturan main, 3) wasit. Tiga pilar ini menjadi prasyarat sebuah permainan yang tujuannya adalah meraih kemenangan.

Sebagaimana dalam permainan dalam sepak bola. Tujuan bermain di samping memperoleh kesenangan dan kesehatan adalah menang. Bahkan, yang disebut terakhir ini biasanya yang paling dominan. Agar tujuan yang diinginkan tercapai, maka aturan main dan penengah atau wasit menjadi penting dalam sebuah permainan.

Pemain harus mengetahui seluruh aturan main baik yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan. Pelanggaran terhadap aturan main menyebabkan seorang pemain mendapatkan hukuman. Di sinilah peran wasit dalam sebuah pertandingan.

Dalam kehidupan kita di dunia, pemainnya adalah manusia. Tujuan bermain adalah mendapatkan kemenangan. Kemenangan disebut dalam istilah Arab dengan falah atau muflih (orang yang menang). Di antara kunci untuk mendapatkan kemenangan adalah pemain harus mematuhi role of game alias aturan main. Kalau tidak, pemain akan mendapat “teguran” ilahiyah.

Bermain secara benar pada hakikatnya adalah patuh terhadap role of game yang telah ditentukan. Dengan demikian, sebagai pemain kehidupan, agar mendapatkan kemenangan syaratnya adalah patuh terhadap role of game. Pengingkarannya berarti kekalahan.

Ada tiga karakter pemain, 1) patuh dengan sepenuh hati, 2) tidak patuh (ingkar), 3) patuh dengan setengah hati. Kepatuhan dengan sepenuh hati akan menjadikan mental dan karakter pemain menjadi pemain yang sungguh-sungguh dalam bermain. Dia akan bermain cantik, taktis, cerdas, dan sungguh-sungguh. Orang yang demikian dalam al-Quran disebut dengan muttaqin (orang takwa). Ciri muttaqin adalah patuh dengan sepenuh hati terhadap role of game dan memiliki mental dan keyakinan berbasis percaya pada yang ghaib (metafisik), mendirikan shalat, mendermakan sebagian rizkinya.

Sementara karakter pemain yang tidak patuh dia akan selalu merusak permainan dengan cara melanggar role of game. Dia melakukan yang dilarang dan meninggalkan yang diminta atau diperintah. Kategori ini dalam al-Quran disebut dengan ingkar. Dampak keingkaran ini adalah kegagalan yang sangat dahsyat.

Kemudian karakter ketiga adalah orang yang memiliki kepatuhan semu. Seolah-olah patuh. Tetapi sebetulnya dia adalah penipu. Untuk memperoleh kemenangan, orang ini bermain secara licik. Seolah-olah bermain bagus, tetapi saat ada kesempatan curang, dia berbuat curang. Inilah kemunafikan. Dalam permainan, kemunafikan adalah pangkal kegagalan yang menyakitkan.

Patuh pada role of game menjadi syarat kesuksesan seorang pemain baik secara individu maupun dalam sebuah tim. Ketaatan dan kepatuhan pada syari’at adalah syarat kemenangan dan kesuksesan permainan di dunia ini. Akankah kita disorot kamera kehidupan dengan gambar kepatuhan, atau sebaliknya ?

Allah A’lam bi al-Shawab

http://suwitons.com/2016/12/29/seri-eko-sufisme-8-the-winner/