EKO-SUFISME # 26: NIKMAT GRAVITASI LANGIT

Adzan dzuhur telah selesai berkumandang. Di area masjid masih banyak kerumunan mahasiswa. Sebagian dari mereka masih berdiskusi, dengan menggelar buku-buku dan laptop yang tampak masih menyala. Sedangkan kerumunan lainnya masih asyik mesam-mesem (senyum-senyum) sambil memerhatikan smartphone mereka. Mereka masih asyik chatting dengan temannya melalui dunia maya. Ada lagi, di antara mereka yang masih terlelap tidur. Di beberapa kantor, para pagawai masih sibuk di depan komputer mereka. “Tanggung”, kata di antara mereka. Di beberapa ruang rapat, pembahasan tetap berlangsung.

Seri Eko-Sufisme: # 26 kita telah membahas tentang gravitasi bumi secara fisika. Gravitasi bumi artinya daya tarik bumi. Dalam bahasa sederhana, gravitasi adalah “kemampuan menyedot”. Dalam pembahasan filsafat, bumi biasa disimbolkan sebagai realitas bawah, duniawi, alam fisik atau alam wadag, tempat yang rendah, nafsu, dan jasmaniyah. Sebaiknya, langit adalah simbol yang dikenal sebagai realitas dunia atas, ukhrawi, dunia spiritual, tempat yang tinggi, dan ruhani.

Kita telah bahas di seri # 26, bahwa, “daya sedot bumi” memang luar biasa. Di sini saya pertegas, bahwa secara umum, manusia memang tertarik dengan hal-hal yang bersifat duniawi. Manusia menyukai hal-hal yang bersifat jasmaniah (biologis) seperti hasrat penyaluran seksual, suka terhadap anak-anak, senang kendaraan bagus, menyukai berbagai jenis properti, dan bahkan makanan yang kita konsumsi sehari-hari.

Semua kesukaan ini ternyata bersumber dasar dari bumi. Jasad manusia, seperti dalam al-Quran (QS. Ali Imron: 59; al-Hijr: 26) sumber dasarnya adalah tanah (bumi). Hampir seluruh komponen kendaraan bersumber dari bahan tambang dari perut bumi. Besi, tembaga, seng, nekel, kaca, bahan sintetis lain bersumber dari tanah. Demikian juga, properti yang kita miliki seperti rumah bersumber dari dari tanah. Coba lihat komponen rumah kita yang terdiri dari bata, semen, genteng, keramik, granit, gamping, kayu untuk pintu-pintu atau rangka, baja, dan lain-lain semua berasal dari tanah.

Makanan yang kita konsumsi sehari-hari hampir semuanya berasal dari tanah. Makanan pokok kita seperti beras, gandum, kurma, termasuk palawija dan lain-lain berasal dari perut bumi. Biji-bijian tumbuh menjadi tanaman sempurna dan berberbuah.

“Daya tarik” bumi demikian dahsyat. Menyedot hasrat hampir semua orang. Namun, bagi orang-orang yang mendapat pencerahan, dia tidak hanya tertarik pada kekuatan gravitasi bumi. Mereka juga akan tertarik (tersedot) pada gravitasi langit. Hal hal ini, Rasulullah SAW tersedot kekuatan gravitasi langit. Beliau mi’raj hingga sidratul muntaha (puncak langit). Orang-orang yang mendapatkan pencerahan akan segera menyerahkan dirinya untuk tersedot gravitasi “langit”, bersama para malaikat dan Sang Pencipta melalui shalat berjamaah. Hal ini seperti ungkapan bahwa, “Shalat adalah mi’rajnya orang-orang mukmin”.

Mi’raj bermakna mencelupkan “daya tarik” atau “gravitasi” bumi ke dalam gravitasi langit. Seluruh keinginan nafsu jasmani dicelup dengan orientasi ruhani. Mi’raj hanyalah proses mencelupkan, bukan penenggelaman. Kata celup beda dengan tenggelam. Manusia yang masih hidup dia pasti masih harus di bumi. Dia tidak boleh tenggelam di alam fana’ secara terus menurus. Tetapi dia harus ingat, bahwa dia masih berada di bumi.

Rasulullah memberi contoh, setelah mi’raj Beliau harus kembali ke bumi. Mi’raj hanya sebagai celupan saja. Mi’raj bukan menenggelamkan orientasi manusia. Beliau harus turun ke bumi untuk melaksanakan misi kemanusiaan dengan dua gravitasi sekaligus, yaitu gravitasi bumi dan langit secara proporsional.

Chatting, bergaget ria, tidur, diskusi, mengobrol dan hal-hal lain yang terkait dengan gravitasi bumi secara manusia boleh-boleh saja, namun jangan lupa saatnya memperhatikan gravitasi langit sebagai pencelup gravitasi langit.

Allah A’lam bi al-Shawab.

SERI EKO-SUFISME # 27: NIKMAT GRAVITASI LANGIT