EKO-SUFISME # 28: WITIR: ON TO ALLAH

Bagi saya, ini pengalaman diri saya, shalat witir, terutama di luar Ramadhan, kok terasa berat. Padahal boleh hanya satu rakaat. Semoga ini tidak terjadi pada pembaca. Padahal banyak hadits yang terkait dengan anjuran pelaksanaan shalat ini. Semoga menjadi ringan setelah renungan ini kita pahami.

Al-witr berarti ganjil, kebalikan genap. Wujud (realitas) ganjil dan genap jelas sangat berbeda. Coba kita bahas dalam tulisan ini. Pendekatan yang gampang kita pakai untuk membahas ini adalah analogi pada kelistrikan di PLN dan komputer.

Pada dunia kelistrikan, kita sering melihat simbol 1 dan 0. Simbol bilangan ganjil terkecil adalah 1 (satu), sedangkan simbol bilangan genap terkecil adalah 0 (nol). Agar gampang membayangkannya, coba lihat meteran listrik PLN yang masih manual, biasanya ada tanda l dan 0. Meteran listrik kita kadang anjok (turun) yang menyebabkan listrik padam. Anjlok dari posisi 1 ke posisi 0. Kalau kita hendak menghidupkan kembali, biasanya harus dikembalikan pada posisi 1.

Demikian juga, pada alat-alat elektronik kita. Sering kita jumpai tanda tombol power dengan tanda (I) untuk meng on kan (menghidupkan). Kenapa tanda power untuk meng on kan alat-alat listrik seringkali menggunakan lambang angka satu (I). Jarang sekali kita temukan tanda power atau on dengan tanda min (-). Apakah ini sebuah kebetulan atau tidak. Saya yakin tidak.

Power berarti “kuat” atau “kekuatan”, kebalikannya adalah “lemah” atau “loyo”. Power digunakan  untuk meng on kan alat tersebut. On berarti “aktif” atau “hidup”, atau nyala. Sedangkan kebalikannya adalah off atau mati (tidak aktif).

Dalam ilmu komputer sebagaimana yang pernah saya tahu, bahwa tampilan program komputer yang biasa kita pakai adalah olahan dari dot atau titik. Teknologi komputer yang canggih termasuk anak cucunya seperti smart phone pada dasarnya adalah kecanggihan mengolah titik (dot) menjadi bahasa program di komputer.

On (aktif) atau (I) = ada titik (dot).

Off (tidak aktif) (0) = tidak ada titik (dot).

Untuk memudahkan gambaran ini, kita perlu lihat kembali program Word Star (WS) dan Lotus tahun 1990an. Huruf A sangat jelas tersusun dari titik-titik yang sambung menyambung sehingga membentuk A dan huruf-huruf lainnya. Jika tidak ada titik berarti tidak akan ada realitas.

Apa hubungannya itu semua dengan witir ? Dan mengapa shalat witir sangat disukai Allah, sampai-sampai Rasulullah menganjurkan dengan sangat (sunnah muakkadah) ? Witir yang kalau diartikan dengan makna ganjil (Esa) dan tidak berpasangan itu merupakan sifat Allah yang utama. Allah senang disifati dengan kesendirian. Tidak butuh pasangan. Karena pasangan mengisyaratkan ketidakmampuan.

Berbeda dengan sifat makhluk. Sebagai mahkluk, semua yang ada, hampir dipastikan ada pasangannya. Coba kita lihat diri kita. Tangan, kaki, telinga kita, ahkan yang tampak tunggal seperti hidung dada, dan lain-lain pasti simetris. Ada kanan, ada kiri. Ada atas, ada bawah. Ada utara ada selatan. Ada panas, ada dingin, dan seterusnya.

Pasangan-pasangan (yang genap) itu menjadi ciri makhluk. Realitas kanan menjadi tidak ada jika tidak ada kiri. Posisi atas ada, karena adanya bahwah. Bawah tidak bisa disebut bawah kalau tidak ada atas. Demikian juga kanan tidak dapat disebut kanan kalau tidak ada kiri. Inilah hukum pasangan. Realitas ganda atau genap.

Bagi Allah, realitas genap tidak diperlukan. Karena genap yang disimbolkan dengan nol (0) sebetulnya adalah realitas kelemahan. Sedangkan 1 (Satu atau Ahad) adalah simbol power atau kekuatan. Dalam konteks ini, orang yang melaksanakan witir, dia sebetulnya secara sadar maupun tidak telah mendeklarasikan diri sebagai orang yang mengakui dirinya mahkluk yang lemah. Kita sebagai manusia, kita butuh orang lain sebagai teman, partner, kolega, dan pasangan hidup. Pendek kata, kita perlu bantuan orang lain. Kita tidak bisa hidup tanpa pertolongan.

Pangkal dari seluruh pertolongan berasal dari Dzat Yang Ahad. Sebagaimana dalam Surat al-Ikhlas. Katakan bahwa Allah itu Ahad. Dia menjadi tempat bergantung/bersandar (bagi seluruh makhluk). Melaksanakan witir sama dengan menyandarkan 0 (nol) kita pada 1 (SatuNya). Apa yang kita upayakan yang hanya bersumber pada kita hanyalah nol (0), nol (0), dan (0). Berjejernya nol itu tidak memiliki arti dalam bilangan angka, tetapi jika nol-nol tersebut disandarkan pada angka 1, maka dia akan bermakna sebagai 10 (sepuluh), atau 100 (seratus), 1000 (seribu), 10000 (sepuluh ribu) dan seterusnya. Dengan kata lain witir adalah simbol power atau kekuatan (haulah dan quwwah) dan kebermaknaan hidup dan usaha manusia.

Kembali ke makna asal, melakukan witir sama berarti mengakui ketauhidan dan keEsaan Allah. Dia Yang Maha Kuat (Power). Dia tidak butuh teman. Dia Dzat Tunggal, Dia mengatasi Dirinya sendiri. Dia Maha Kuasa. Dia Maha Aktif (On) dan mengaktifkan (meng on kan) makhlukNya.

Pertanyaan penutup, kenapa kok kita berat melakukan witir ya ? Jawabannya, mungkin alam kehidupan sehari-hari kita belum 100 % meng Esa kanNya. Belum menuhankan Dia satunya-satunya. Kita kadang masih menuhankan uang/kekayaan, atasan, pekerjaan, kekuasaan, dan “tuhan-tuhan kecil” lainnya. Di mana posisi Allah dalam hidup kita, di situlah kebiasaan dan kepribadian kita. Ya… Allah astgahfirullah al-adzim

Allah A’lam bi al-shawab…

SERI EKO-SUFISME # 29: WITIR: ON TO ALLAH