EKO-SUFISME # 34: HIDUP DALAM ANGKA-ANGKA

Pernahkah Anda merenungkan aktivitas kita berkaitan angka-angka pada hidup kita ? Seandainya Allah memberikan umur sebanyak 70 tahun. Itu artinya, waktu yang diberikan pada kita adalah 25.480 hari atau 611.520 jam. Pertanyaannya adalah untuk apa umur kita yang hitungannya sekian hari atau sekian jam ?

Mari kita identifikasi (kenali), satu per satu. Di antara kegiatan kita adalah bekerja atau belajar, tidur, santai-santai, ibadah mahdhah (shalat misalnya), ngrumpi dengan teman, berhajat (di kamar kecil), berhias (bagi ibu-ibu atau mbak-mbak), dan lain-lain.

Coba kita hitung waktu rata-rata untuk kegiatan di atas, jam/hari, yang ketemunya sebagai berikut:

Tidur 8 jam/hari x 70 tahun = 203,840 jam = 8,493.3 hari = 23.3 tahun
Kerja 8 jam/hari x 70 tahun = 203,840 jam = 8,493.3 hari = 23.3 tahun
Santai2 2 jam/hari x 70 tahun = 50,960 jam = 2,123.3 hari = 5.8 tahun
Ngrumpi 1.5 jam/hari x 70 tahun = 38,220 jam = 1,592.5 hari = 4.4 tahun
Shalat 1 jam/hari x 70 tahun = 25,485 jam = 1,061.6 hari = 2.9 tahun

Inilah rekap waktu yang umumnya kita gunakan. Kalau dirinci lagi, sebenarnya aktivitas tidur masih menempati rangking tertinggi. Karena saat masih bayi, waktu kita gunakan hampir 90% untuk tidur. Padahal kalau kita merujuk pada QS Adz-Dzariyat: 56, Allah menegaskan pada kita, “…Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk beribadah”.

Memang seharusnya, seluruh kegiatan kita adalah ibadah (pengabdian pada Allah). Tidur adalah ibadah. Kerja juga ibadah. Santai-santai untuk beristirahat agar nantinya menjadi semangat saat beribadah juga terhitung ibadah. Shalat atau ibadah yang telah ditentukan tata caranya (mahdhah) jelas ibadah. Kalau ngrumpi jelas bukan ibadah. Mengerjakan hal-hal lain yang memberi manfaat pada diri kita dan orang lain adalah badah. Idealnya, semua aktifitas kita adalah ibadah.

Hanya saja, seringkali yang terjadi tidak demikian. Seringkali kita tidur tidak kita niati sebagai ibadah. Tidur kita seringkali karena tertidur (tidak sengaja tidur) atau ketiduran.Orang tang tertidur biasanya tidak niat untuk tidur. Tidak adanya niat, berarti amal menjadi kosong tidak bernilai apa-apa.

Demikian juga saat kita berangkat kerja. Sangat jarang saat berangkat bekerja kita niati sebagai ibadah. Dalam hal ini pengalaman saya, seringkali saya lupa niat ibadah dalam melaksanakan pekerjaan saya. Bahkan, saya juga sering lupa membaca bismillah saat memulai pekerjaan saya. Demikian juga dalam kegiatan-kegiatan lain.

Allah sangat mengetahui kelemahan kita ini, sehingga Dia memberikan diskon-diskon atau hadiah-hadiah atau fasilitas-fasilitas layanan untuk menutup kekurangan kita. Di antara hadiah itu adalah Ramadhan. Dengan berpuasa dan qiyam (melaksanakan shalat malam dan ibadah lainnya), kita bisa selalu konek (tersambung) dengan Allah. Seharian penuh kita gunakan frekwensi kita tersambung (konek) dengan Allah. Apalagi, di salah satu malamnya ada satu malam yang sangat muliah yang bisa melebihi kebaikan satu generasi umur manusia umat Nabi Muhammad, yakni Lailatul Qadar.

Kebaikannya Lailatul Qadar disebut oleh Allah dalam QS. Al-Qadar dengan, “Lebih baik dibanding 1.000 bulan”. Seribu bulan sama dengan 83.3 tahun, atau seumur dengan umur manusia. SEcara matematika, sekali berhasil menangkapnya, berarti kita telah dapat menutup kekurangan dalam seluruh kehidupan kita. Padahal Ramadhan datang setiap tahun.

Di samping itu, sudah menjadi kelaziman bahwa puasa saat berpuasa seringkali badan kita lemas, termasuk yang sering berpuasa sekalipun. Kalau kita sadari bahwa lemas dapat kita gunakan sebagai sinyal selalu konek (tersambung) pada Allah. Keadaan lemas menyadarkan kita bahwa saat ini kita berpuasa yang merupakan perintah Allah.

Kesadaran akan tersambung dengan Allah mengantarkan pada kesadaran akan hadirnya Allah dalam setiap aktivitas dan seluruh lini kehidupan. Inilah yang memantik seluruh kegiatan diarahkan lillah (untuk Allah). Dalam konteks ini, tidur sekalipun adalah ibadah, sebagaimana ungkapan, “Naum al-shaimi ibadah” (Tidurnya orang puasa juga termasuk ibadah).

Hanya saja, ungkapan ini tidak boleh kita jadikan sebagai alasan bermalas-malasan. Karena aktivitas lain seperti belajar, mengaji, tadarrus, mengajar, melayani pelanggan, memberi bantuan pertolongan, bekerja keras, meneliti, membaca, menulis dan seterusnya akan lebih dinilai plus (lebih baik) dibanding kepasifan lainnya.

Ramadhan adalah hadiah untuk menyadari bahwa umur kita yang sebagian besar kita pakai untuk selain ibadah harus kita kembalikan agar dapat kita gunakan sepenuhnya untuk pengabdian (ibadah) lillah (untuk Allah semata). Marhaban Ya Ramadhan…

Allah A’lam bi al-Shawab

SERI EKO-SUFISME # 35: HIDUP DALAM ANGKA-ANGKA