Bersikap Adil

SALAH SATU kosa kata yang banyak disebutkan dalam ayat-ayat al-Qur’an adalah kata “adl” (adil), baik bebentuk kalimat perintah, larangan, maupun berita (cerita umat terdahulu). Dalam tataran implementasi, kata adil dapat bermakna: obyektif, proporsional, seimbang. Bersikap adil adalah hal yang sangat prinsip dalam semua hal: beragama, bermasyarakat, bernegara, dan terutama dalam bidang hukum atau pengadilan.

Dalam beragama, al-Qur’an dan hadis mengingatkan  agar manusia berbuat adil (seimbang atau proporsional). Tidak boleh seseorang dalam menjalankan agama hanya beribadah (mahdhah, ritual) untuk kepentingan akhirat, tetapi melupakan urusan dunia, dan sebaliknya. Kehidupan dunia dan dan akhirat adalah bagaikan dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Kebahagiaan atau keselamatan di akhirat hanya dapat diproleh dari kebaikan yang dilakukan di dunia (al-dunya mazra’ah al-akhirah : dunia adalah tempat menanam yang hasilnya akan dipetik di akhirat).  Itulah sebabnya salah satu doa yang diajarkan oleh al-Qur’an adalah agar umat Islam meminta keseimbangan antara kebahagian dunia dan akhirat.

Dalam bermasyarakat, al-Qur’an dan hadis juga mengingatkan  agar manusia  dalam melakukan aktifitas apapun tidak semata-mata berorieantasi  untuk kepentingan dan keuntungan pribadi. Ajaran zakat, shadaqah, infaq dan ibadah- ibadah sosial lain yang banyak disebutkan dalam hadis adalah merupakan bagian dari wujud konsep keseimbangan (keadilan) terhadap pribadi dan masyarakat. Sebagaimana keseimbangan antara dunia dan akhirat, keseimbangan antara pribadi dan orang lain (masyarakat) juga tidak dapat dipisahkan. Eksistensi manusia beserta kebahagian dan katercukupannya tidak mungkin dapat diraih tanpa orang lain. (al-insanu madaniyyun bi al-thaba’iy : mannusia adalah makhluk sosial). Dari prinsip inilah Islam melarang sikap atau sifat egoisme, eksklusifisme, arogan, dan yang sejenisnya.

Dalam konteks bernegara juga harus ada keadilan atau keseimbangan antara pemimpin dan rakyat. Pemimpin dan yang dipimpin (rakyat) harus memahami hak dan kewajibannya secara  proporsional (seimbang). Adanya “perbedaan” proporsi adalah hukum alam (sunnatullah). Karena “perbedaan” itulah yang menyebabkan seseorang dapat  berinteraksi dan memenuhi kebutuhannya, serta dapat melakukan kebaikan (amal shalih). Dapat kita bayangkan kalau semua manusia sama atau dalam strata yang sama: semuanya jadi pemimpim atau semuanya jadi rakyat, semuanya kaya atau semuanya miskin (dalam konteks bermasyarakat), semuanya taat atau semuanya ingkar (dalam konteks beragama). Tentu tidak rasional. Meskipun bagi Allah tidak ada yang tidak mungkin, tetapi Allah  tidak melakukan itu hal ini tertuang dalam Qur’an Surat Yunus Ayat 99 :

وَلَوْ شَآءَ رَبُّكَ لَءَامَنَ مَن فِى ٱلْأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا ۚ أَفَأَنتَ تُكْرِهُ ٱلنَّاسَ حَتَّىٰ يَكُونُوا۟ مُؤْمِنِينَ

Jika Tuhanmu menghendaki, tentu akan beriman semua yang ada dibumi seluruhnya. Maka apakah kamu hendak memaksa manusia supaya mereka menjadi oarang-orang yang beriman semuanya? Tidak seorangpun akan beriman kecuali dengan izin Allah

Dalam hadis yang sangat populer juga disebutkan :”Perbedaan umatku adalah rahmat”. Perbedaan itu tentu tadak hanya perbedaan pendapat atau pemikiran, tetapi juga perbedaan posisi, strata, ekonomi dan sebagainya. Dari perbedaan inilah terjadi gerak, interaksi, dan dinamika kehidupan, dan itu semua merupakan keniscayaan.

Bersikap Adil Terhadap Seseorang atau Kelompok

Salah satu tantangan berat yang dihadapi manusia adalah persoalan “kecintaan” (kesukaan) dan “kebencian” (ketidaksukaan). Kecintaan dan kebencian yang berlebihan,  seringkali dapat menyebabkan seseorang tidak dapat besikap adil, obyektif, atau proporsional. Hal ini diingatkan oleh al-Qur’an dalam surat al-Maidah ayat 8 ;

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُونُوا۟ قَوَّٰمِينَ لِلَّهِ شُهَدَآءَ بِٱلْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَـَٔانُ قَوْمٍ عَلَىٰٓ أَلَّا تَعْدِلُوا۟ ۚ ٱعْدِلُوا۟ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرٌۢ بِمَا تَعْمَلُونَ

“….Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil”.

Mafhum mukholafah (makna tersirat/sebaliknya) dari ayat tersebut adalah mengingatkan kepada manusia tidak hanya berlebihan dalam kebencian, tetapi juga tidak boleh berlebihan dalam kecintaan, yang menyebabkan tidak berlaku adil. Salah satu bentuk ketidakadilan adalah ketika seseorang menilai sesuatu sudah diliputi terlebih dahulu oleh rasa kesukaan atau ketidaksukaan.

Kalau tidak suka (benci), apapun salah dan tidak baik. Sebaliknya, bila suka (cinta) apapun benar dan baik. Kebenaran/kebaikan atau kesalahan/kejelekan tidak ddidasarkan atas objektifitas dan proporsionalitas, tetapi didasarkan atas suka atau tidak, senang atau benci. Karena itu terkait mencintai atau membenci seseorang, al-Qur’an mengingatkan untuk tidak berlebihan, karena pada diri manusia ada keterbatasan untuk mengetahui yang sebenarnya atas manusia yang lainnya:

كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

“….Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai (mencitai) sesuatu padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”. (Al-Baqarah : 216).

Dr. H. Ansori, M.Ag. Katib Syuriyah PCNU Banyumas dan  Ketua Komisi Fatwa MUI Banyumas,