EKO-SUFISME # 15: MAKANAN TERBUANG, PENYEBAB KRISIS?

Pada sebuah pesta kondangan (resepsi), baik pesta pernikahahan, sunatan, atau syukuran seringkali kita mendapat banyak suguhan makanan. Memang, ini sesuai kemampuan tuan rumahnya. Ada stand makanan maupun minuman. Ada stand makan besar, stand bakso, stand siomay, stand soto, pecel, dan lain-lain. Di stand minuman, ada dawet, kelapa muda, es krim, dan lain-lain. Umumnya, makanan disediakan tuan rumah secara prasmanan (ambil sendiri sesuai selera).

Para tamu undangan datang, menyalami, mengucapkan selamat, dan makan. Makanan biasanya disediakan cukup untuk seluruh tamu yang datang. Biasanya, tuan rumah (shahib al-bait) menyediakan 2x lipat tamu yang diundang. Tuan rumah tidak ingin malu karena suguhan di pesta ini kurang.

Seringkali makanan yang kita diambil sendiri itu nyisa. Tidak habis dimakan. Ada yang tersisa (tidak termakan) mungkin beberapa butir nasi, 1/2 sendok, 1 sendok, bahkan setengah piring. Makanan terbuang mubadzir.

Tidak hanya di arena kondangan (resepsi) saja. Nyisa makan seringkali kita lakukan di rumah kita sendiri, di warung, atau di tempat-tempat lain. Di masyarakat kita, terkadang masih ada anggapan salah bahwa makan habis bersih tidak nyisa dianggap sebagai orang yang rakus.  Nyisa saat makan dianggap “elit”.

Ayo coba hitung pemubadziran makanan. Penduduk Indonesia sebanyak 200 juta misalnya. Misalkan separohnya saja atau 50 % nyisa satu sendok saja rata-rata, berarti ada 100 juta orang makan yang nyisa ada makanan terbuang 100 juta sendok. Kalau kita konversi satu piring berisi 15 sendok nasi berarti ada 6.666.666,75 piring terbuang, ya ndak ?, kita lihat rekap lanjutannya.

Kalau 100 juta sendok = 6.6666.666,75 piring sekali makan terbuang.

Berarti sehari, (3 x makan) = 20.000.000 piring sehari terbuang.

Berarti seminggu (7 hari x 3x makan) = 140.000.000 piring seminggu terbuang.

Berarti sebulan (30 hari) = 600.000.000 piring sebulan terbuang.

Setahun (12 bulan atau 356 hari) = 2.373.333.363 (2,37 milyar piring lebih terbuang).

Kalau @ satu piring nasi dihargai Rp. 1.000 = Rp. 600.000.000.000 (6 M uang sebulan terbuang.

Setahun = Rp. 2.373.333.363.000 (2, 37 trilyun uang mubazir).

Angka yang fantastis. Jika sehari saja yang jumlahnya 6 juta piring itu, berarti cukup untuk memberi makan penduduk satu kota. Luar biasa. Angka-angka tersebut adalah angka pemubadziran. Inilah adalah bentuk dari kufur nikmat yang jarang kita sadari. Mungkin bertahun-tahun kebiasaan kita telah kita lakukan ini.

Pemubadziran nikmat Allah bentuk dari sifat dan perilaku kufur nikmat. Jika dihubungkan dengan kenapa krisis di negeri kita yang sangat subur ini, kenapa krisis itu tidak segera berlalu ? Jawabannya menurut saya bisa jadi, Allah telah menyabut nikmat itu karena kita sendiri tidak bisa merawat dan bersyukur. Negeri yang gemah ripah loh jinawi (subur, penuh potensi) ini ngambek tidak mau dan tidak bisa mencukupi kebutuhan dasar penghuninya. Kita bisa lihat statistik BPS terbaru, kita masih harus selalu import bahan makanan pokok dari negara tetangga kita, termasuk singkong dan jagung sekalipun. Bentuk dicabutnya nikmat itu dengan cara yang bermacam-macam, di antaranya adalah ketidakmampuan kita dalam mengelola nikmat potensi alam yang dahsyat ini baik pada skala kecil (individu) maupun besar (pemeritah).

Kita sadar, serba menyalahkan dan mencari kambing hitam persoalan ini tidak saja akan segera dapat mengatasi masalah ini. Yang harus segera kita lakukan adalah menyadari dengan harus segera introspeksi diri, yang salah adalah kita. Kita masih kufur nikmat, termasuk membuang-buang makanan.

Bisa jadi benar, ungkapan Jawa yang mengatakan, “nek ra entek manganmu, pitikmu mati”(kalau tidak habis makananmu, ayammu bakal mati). Ini mengandung pelajaran bahwa Allah akan mencabut nikmat lain yakni ayam kalau nyisa dan menyia-nyiakan makanan. Secara logika, harusnya ayam jadi gemuk dan sehat karena dapat sisa makanan. Kenapa malah justru mati ? Kearifan luar biasa yang diajarkan para sesepuh Jawa (Walisongo), bahwa kalau kufur nikmat dengan cara memubadzirkan makanan, Allah akan mengambil nikmat yang ada (existing nikmat) wujudnya bisa ayam, bebek, dan lain-lain. Karena orang yang menyia-nyiakan makanan ini belum bisa menerima anugerah yang lebih besar. Nikmat itu akan diambil kembali pemilikNya, yakni Allah subhanahu wa ta’ala.

Dari pemubadziran makanan yang dibuang-buang itu menyebabkan munculnya kematian “ayam” (yang diambil pemiliknya kembali). Ayam tersebut adalah simbol dari nikmat lain yang sudah ada seperti nikmat ekonomi (kurang pangan, banyak hutang, pengangguran), nikmat politik (kegaduhan politik, distabilitas, mosi tidak percaya), nikmat keamanan (teror, konflik antar komponen bangsa), nikmat pendidikan (rusaknya tatanan akhlak, dekadensi moral) dan serta nikmat trust (keterpercayaan atau citra) pada masyarakat dunia sebagai sebuah bangsa.

Muhasabah (introspeksi diri ) adalah langkah awal, gerakan syukur nikmat adalah langkah berikutnya dengan mengajak orang terdekat kita agar tidak menyia-nyiakan nikmat Allah yang berupa makanan. Mengajak anggota keluarga kita untuk memperhatikan masalah yang dianggap kecil ini. Tulisan ini terinspirasi dari pengajian Kitab Hikam KH. Imron Jamil (Jombang). Semoga manfaat.

 

Allah A’lam bi al-Shawab

SERI EKO-SUFISME #15: MAKANAN TERBUANG, PENYEBAB KRISIS ?