EKO-SUFISME # 23: BELAJAR IKHLAS DARI PERJUANGAN BUAH KELAPA

Kelapa, jenis tumbuhan yang diciptakan secara unik oleh Allah subhanahu wata’ala. Kita semua tahu, biasanya kelapa menjuntai di pohon yang menjulang tinggi. Karena itu, dia (kelapa) dibekali Allah, Sang Penciptanya, dengan body yang kuat. Kulitnya keras berlapis. Gagangnya pun akas (keras, ulet). Dengan demikian, cara memanennya pun keras. Pemanennya, seringkali membawa parang atau sabit untuk memutus gagang yang keras itu, atau dengan cara memuntir (memutar) sampai putus gagangnya.

Selanjutnya, kelapa dijatuhkan atau dilempar dari ketinggian. Saat menjatuhkan, pemanennya tidak peduli dan tidak memikirkan keadaan tempat dijatuhkannya kelapa itu. Tidak peduli batu, kerikil, tanah padas, atau pasir. Pemanen tahu kalau kelapa bisa djatuhkan di mana saja. Dengan kata lain, kelapa siap dijatuhkan dengan kondisi apapun. Ini berbeda dengan buah-buah lain yang harus hati-hati perlakuannya, seperti pepaya atau mangga.

Belum selesai perjuangan dan perjalanan sang kelapa ini. Dia dipindah secara kasar. Dia dilempar dan disepak dengan kaki. Dia kemudian dikuliti. Dibuang kulit luar atau tepesnya. Agar dapat dimanfaatkan isinya, dia harus dipecah tempurungnya (kulit dalamnya atau bathoknya) dengan alat keras dan tajam. Selanjutnya, dia dicukil dengan pisau yang lancip dan diparut. Sebagian tradisi di Sumatera, seperti di Aceh, setelah tempurung kelapa di pecah, kelapa dikerok dengan alat kukur-kerok yang khas. Belum selesai, hasil parutan atau kerokan kelapan tersebut di guyur air dan di peras sekuat-kuatnya agar menjadi santan.

Santan dimasukkan ke adonan calon makanan atau minuman seperti jajan pasar seperti wajik, lapis yang warna-warni, kolak, sayur gudeg, sayur lodeh, es dawet, dan lain-lain. Pelajaran terpenting dari semua ini adalah kelapa yang perjuangannya berdarah-darah tersebut selanjutnya nama kelapa sama sekali tidak muncul nama kelapa pada sebagian besar makanan yang disebut di atas.

Pada makanan-makanan ini seperti wajik, lapis yang warna-warni, kolak, sayur gudeg, sayur lodeh, es dawet, -yang mereka itu, tidak akan bisa menjadi (eksis) tanpa bantuan sang kelapa- nama kelapa rela tidak disebut secara eksplisit selamanya.

Mungkin ini kontras berbeda dengan kita. Baru sedikit sumbangsih dan jasa, kita sudah minta agar nama kita disebut dengan nyaring. Bahkan, sering kali dongkol atau marah di saat nama kita tidak disebut. Lebih parah lagi, kalau yang memiliki sumbangsih itu nenek moyang kita, namun kita memaksa orang lain menyebut diri kita atas sumbangsih leluhur kita itu.

Dari perjuangan kelapa itu, kita bisa belajar tentang ikhlas. Baik dari aspek makna dan contoh perilaku. Atas ijin Allah, kelapa berusaha “mengubur” dalam-dalam nama besarnya di balik lezatnya makanan-makanan itu. Santan, sebagai inti sari fungsi kelapa dikubur dalam-dalam di dalam makanan. Wujud (bentuk) santan sudah nyaris tidak tampak lagi. Dia menyatu dengan tepung pada jajanan wajik dan lapis. Dia juga menyatu dengan gula dan air pada dawet.

Ikhlas itu terkait dengan kualitas amal perbuatan kita. Semakin sering disebut, akan semakin memancing menimbulkan riya’ (pamer). Perjuangan panjang kelapa mengajari kita agar amal salih kita sebaiknya dipendam dalam-dalam, seperti layaknya santan dalam lapis. Ini selaras dengan wejangan Rasulullah, saat berinfaq (dan amal shalih lain) sebaiknya tangan kiri kita tidak tahu. Ini adalah kiasan yang luar biasa, dalamnya “mengubur” amal yang hanya dipersembahkan seorang hamba kepada Allah.

Pelajaran ini juga pernah disampaikan oleh Ibn ‘Athaillah sebagaimana pernyataannya, “Idfin wujudaka fi ardhi al-khumul, fa ma nabata ma lam yudfan la yutimmu nabatuhu” (kuburlah dalam-dalam wujudmu di tanah yang dalam lagi gelap. Biji yang tidak ditanam, tidak akan sempurna pertumbuhannya). Tulisan ini terinspirasi ngobrol ringan dengan Syafruddin Azis, teman LPM.

 

Allah A’lam bi al-Shawab

SERI EKO-SUFISME# 23: BELAJAR IKHLAS DARI PERJUANGAN BUAH KELAPA