EKO-SUFISME # 3: HAK AIR HARUS KITA BERIKAN

Sekarang saatnya musin hujan. Hampir setiap hari, terutama di sore hari hujan menyapa perkampungan kami. Kran-kran kami tidak tidak macet lagi. Rumput liar di open space perumahan mulai tumbuh dan meninggi. Saat musim hujan, jentik-jentik nyamuk di selokan hanyut diterjang banjir tiban.

Air. Sebuah kata yang menjadi sarana hidup alam semesta. Dengan air, Allah menghidupkan alam semesta. Tidak terkecuali manusia. Hujan adalah sumber air. Allah mengguyur hujan yang berarti mengguyur kehidupan. Banyak sekali ayat yang membicarakan nikmat tentang hujan.

Dalam QS al-Waqi’ah 68-70 kita disindir Allah dengan pertanyaan, “Siapakah yang menurunkan hujan ? Kamukah? Atau Aku ?” Manusia boleh saja mengaku. Mungkin dengan alasan bahwa saat kemarau manusia dengan teknologi manusia membuat hujan buatan yang menghabiskan biayanya ratusan bahkan milyaran rupiah.

Banyak pelajaran dari hujan yang diberikan Allah sebagai nikmat. Allah juga mengatakan bahwa air hujan diturunkan Allah dengan rasa tawar atau netral. Pernahkah Anda membayangkan seandainya air hujan diturunkan dengan rasa asin, manis, atau pahit. Inilah pertanyaan yang pernah disinggung oleh Allah dalam QS. al-Waqi’ah: 68-70, ”Afaraitum al-ma’a al-ladzi tasyrabun. Aantum anzaltumuhu min al-muzni am nahnu al-munzilun. Lau nasya’u ja’alnahu ujajan fa laula tasykurun” (Apakah kalian tidak memperhatikan air yang kalian minum ? Kaliankah yang menurunkan dari tempatnya atau Aku ? Sekiranya aku mau, air hujan itu aku buat asin. Kenapa kalian tidak bersyukur?”.

Hujan merupakan anugerah dan rizki. Karena dengan hujan kehidupan akan berlangsung. Air diberikan fitrah oleh Allah memberi kesegaran. Namun, anehnya di negeri kita tercinta ini, saat musim penghujan banyak berita sedih tentang banjir di mana-mana. Termasuk ibu kota yang selalu langganan banjir.

Manajemen air hujan sangat mendesak untuk direvolusi. Air telah kehilangan haknya. Dia tidak lagi diberikan resapan dan jalan aliran. Padahal, sifat air telah diketahui anak-anak sejak SD. Air memiliki sifat tetap, dia mengalir dari tempat yang tinggi menuju tempat yang rendah. Anak-anak SD dan MI kelas tiga tahu itu. Hanya saja, ilmu tentang air hilang dan tidak dimanfaatkan setelah mereka dewasa. Pengetahuan itu seolah tidak pernah ada.

Jalan-jalan air ditutup untuk keperluan tempat tinggal. Jalan air diserobot oleh orang-orang rakus yang dulu belajar ciri-ciri air. Di kota-kota besar, jalan air semakin menyempit bahkan tidak ada. Resapannya juga tidak ada. Air kehilangan haknya. Pada saatnya, air protes pada penyerobotnya karena dia harus lewat menuju tempat yang lebih rendah, terjadilah banjir bandang yang seringkali menelan korban.

Belum lagi manajemen air yang salah, terkait dengan pengeboran air tanah yang sembarang menyebabkan air hujan tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Justru air laut bawah tanah yang akan naik karena jumlah pengeboran air tanah yang menyalahi tata aturan pengeboran. Allah telah mengingatkan tentang air. Allah juga menyindir terkait dengan kualitas air yang telah diberikan kepada kita agar kehidupan ini menjadi lebih baik.

Menjaga dan merawat saluran air adalah pesan al-Quran bagi orang yang ingin dekat dengan Allah. Sebaliknya, merusak dan mengotori bahkan mengambil hak pihak lain termasuk hak ”hidup” air sangat dibenci Allah dan menjadikan pelakunya jauh denganNya. Yang pertama mereka adalah muttaqin, dan kategori yang kedua adalah mereka yang ingkar.

Air adalah sama-sama makhluk Allah. Berikan hak-hak air. Berikan jalan yang layak agar dia bisa melaju dengan baik tanpa “mengganggu” kehidupan kita. Dengan demikian, memperbaiki got, membersihkan atau merawat selokan, membuat resapan air adalah kebaikan dan sedekah. Sedekah yang demikian ini akan menjadikan alam (termasuk air) menjadi ramah dengan kita. Sesama makhluk harus selalu tolong-menolong untuk kebaikan.

Waallah A’lam bi al-Shawab

SERI EKO-SUFISME # 3: HAK AIR HARUS KITA BERIKAN