EKO-SUFISME # 33: TIDUR

Belum lama ini, saya ketemu dengan seorang kawan yang bercerita bahwa dia telah 7 hari atau (7×24 jam) tidak bisa tidur. Dia sangat galau dengan keadaan ini. Berbagai upaya telah dicoba dilakukan. Dia kemudian berusaha minum obat tidur, menyepi dari keramaian, pijat, hingga konsultasi ke kyai dan dokter. Namun, upaya yang dia lakukan saat itu belum membuahkan hasil.

Peristiwa di atas menjadi pelajaran bagi kita semua bahwa kita seringkali tidak perlu berfikir untuk tidur dan melek. Tidur terjadi secara otomatis setelah kantuk sebentar kemudian berlanjut dengan tidur pulas. Setelah sekitar 4 jam, bangun secara otomatis walaupun terkadang berat dan tidak jarang kemudian tidur lagi.

Pelajaran ini mendidik dan mengajari kita agar kita menjadi orang yang selalu bersyukur. Mulai bagun pagi, sepantasnya kita selalu bersyukur atas karunia Allah yang diberikan kepada kita. Semalaman kita diberikan kemampuan tidur agar segar kembali di hari berikutnya.

Sebagian besar kita, tidur menjadi bagian kehidupan yang tidak perlu dipikirkan. Karena biasanya kegiatan yang ini datang secara otomatis. Walau demikian, untuk kawan saya sebagaimana di awal tulisan menjadi problem tersendiri yang sangat memilukan.

Nikmat ini jarang sekali kita sadari, sehingga jarang sekali kita belajar dari tidur kita. Selain nikmat, tidur adalah pelajaran. Andaikan saja, kita selalu sulit saat hendak tidur, maka kejadiannya seperti kawan-kawan kita yang mengidap imsonia, yakni penyakit susah tidur.

Di antara hikmah atau pelajaran yang dapat dipetik dari nikmat tidur adalah, 1) menggiring manusia untuk selalu bersyukur, karena tidur tidak perlu kecakapan khusus, 2) tidur adalah istirahat yang terbaik. Dengan tidur, fisik dan pikiran menjadi segar kembali, 3) seringkali tidur dikaitkan dengan malam sebagai waktu terbaik untuk istirahat, 4) tidur disebut sebagai kematian sementara.

Terkait antara malam dan tidur sebagai kematian sementara, dalam tradisi muslim ada keistimewaan menghidupkan malam. Menghidupkan malam sama dengan mencoba ”melawan kematian sementara”, yakni dengan cara mencoba bangun dari terlelap tidur untuk bangun sejenak dalam rangka mendekat pada Dzat Maha Pemberi Tidur yakni Allah yakni dengan shalat malam.

Menyela tidur dengan bangun dan mencoba mendekat kepada Allah disebut dalam al-Quran sebagai salah satu cara untuk mendapat maqam mahmuda (tempat yang terpuji). Mereka menduduki tempat terpuji dapat mengalahkan tidur yang kehadirannya otomatis.

Dengan demikian, tidur menjadikan sebab orang seseorang menempati posisi yang lebih mulia di hadapan Allah. Karena ada peristiwa tidur, maka Allah memberi nilai lebih bagi mereka yang bisa bangun melawan tidurnya di malam hari untuk taqarrub kepada Allah.

Allah A’lam bi Shawab

SERI EKO-SUFISME # 34: TIDUR